Sejarah
Cikal
bakal tasawuf dan tarekat, benih-benih dan dasar ajarannya tak dapat
dipungkirisudah ada sejak dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW. Hal ini
dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa yang terjadi dalam hidup,
dalam ibadah dan dalam pribadi Nabi Muhammad SAW. Cikal bakal itu
semuanya berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Cikal bakal inilah yang diteruskan pengamalannya oleh Ahlul Bait, Khulafaur-Rasyidin, para sahabat yang lain, para Ahlus Shufah , para Salafus Shaleh, zaman tabi’in, tabi’it tabi’in sampai dengan zaman muta-akhirin sekarang ini.
Cikal bakal inilah yang diteruskan pengamalannya oleh Ahlul Bait, Khulafaur-Rasyidin, para sahabat yang lain, para Ahlus Shufah , para Salafus Shaleh, zaman tabi’in, tabi’it tabi’in sampai dengan zaman muta-akhirin sekarang ini.
Para
Sufi dan Syekh-syekh Mursyid dalam tarekat, merumuskan bagaimana
sistematika, jalan, cara, dan tingkat –tingkat jalan yang harus dilalui
oleh para calon sufi atau muri tarekat secara rohani untuk cepat
bertaqarrub, mendekatkan diri kehadirat Allah SWT.
Kenyataan
dalam sejarah juga menunjukkan, bahwa peran serta aktif dari para
sufi dan para tuan syekh, mursyid, adalah amat besar dalam dakwah
islam dan dalam pembinaan umat, tidak hanya dalam bidang ibadah
ubudiyah, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan perorangan,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pendapat
yang menyatakan bahwa tasawuf dan tarekat itu menghambat kemajuan
atau menyebabkan umat menjadi terbelakang adalah sangat keliru.
Kenyataan juga membuktikan, sejak dahulu sampai sekarang, kemajuan
pembangunan yang serba canggih buah dari ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK), tanpa dikendalikan oleh iman dan taqwa(IMTAQ),
tidak hanya mengancam timbulnya kehancuran umat manusia. Dengan kata
lain, kemajuan dalam bidang benda material tanpa diimbangi degan
kemajuan pembinaan mental spiritual , akan menjurus kepada kehancuran
menyeluruh.
Tarekat di Indonesia
Seperti
diketahui dari sejarah, masuknya tasawuf dan tarekat ke Indonesia
bersamaan dengan masuknya islam. Aliran lembaga tarekat yang masuk ke
Indonesia bersamaan dengan memuncaknya gerakan tasawuf internasional,
seperti Tarekat Khalwatiyah,Syattariyah, Syadziliyah, demikia juga
tarekat-tarekat yang lain, yaitu Tarekat Qadiriyah, Rifa’iyah,Idrisiyah,
dan yang paling besar dan menyeluruh tersebar di seluruh kepulauan
Nusantara adalah tarekat Naqsabandiyah.
Pengertian Tarekat
Asal kata “tarekat” dalam bahasa arab yaitu “thariqah” yang berarti jalan, keadaan, aliran, atau garis pada sesuatu.[1]
Menurut
istilah tasawuf, tarekat berarti perjalanan seorang salik (pengikut
tarekat) menuju Tuhan dengan cara mensucikan diri atau perjalanan yang
harus ditempuh secara rohani, maknawi oleh seseorang untuk dapat
mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Allah SWT.
Menurut
Syekh Amin al-Kurdi tarekat ialah cara mengamalkan syariat dan
menghayati inti syariat itu dan menjauhkan diri dari hal-hal yang bisa
melalaikan pelaksanaan dan inti serta tujuan syariat.
2. Hubungan Tarekat dengan Tasawuf
Didalam
ilmu tasawuf, istilah tarekat tidak saja ditujukan kepada aturan dan
cara-cara tertentu yang digunakan oleh seorang syekh tarekat dan bukan
pula terhadap kelompok yang menjadi pengikut salah seorang syekh
tarekat, tetapi meliputi segala aspek ajaran yang ada didalam agama
Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya, yang semua
itu merupakan jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah.[2]
Sebagaimana
telah diketahui bahwa tasawuf itu secara umum adalah usaha
mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin, melalui
penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. Usaha mendekatkan diri ini
biasanya dilakukan dibawah bimbimngan seoang guru atau syekh. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah usaha mendekatkan diri
kepada Allah, sedangkan tarekat adalah cara dan jalan yang ditempuh
seseorang dalam usahanya mendekatkan diri kepada Allah. Gambaran ini
menunjukkan bahwa tarekat adalah tasawuf yang terlah berkembang dengan
beberapa variasi tertentu, sesuai dengan spesifikasi yang diberikan
seorang guru kepada muridnya.
Sejarah Timbulnya Tarekat
Peralihan
tasawuf yang bersifat personal pada tarekat yang bersifat lembaga
tidak terlepas dari perkembangan dan perluasan tasawuf itu sendiri.
Semakin luas pengaruh tasawuf, semakin banyak pula orang berhasrat
mempelajarinya.
Seorang guru tasawuf biasanya memformulasikan suatu sistem
pengajaran tasawuf berdasarkan pengalamannya sendiri. Sistem
pengajaran itulah yang kemidian menjadi ciri khas bagi suatu tarekat
yang membedakannya dari tarekat yang lain.[3]
Tarekat adalah organisai dari pengikut sufi-sufi besar. Mereka
mendirikan organisasi-organisasi untuk melestarikan ajaran-ajaran
tasawuf gurunya. Maka timbullah tarekat. Tarekat ini memakai suatu
tempat pusat kegiatan yang disebbut ribat (disebut juga zawiyah, hangkah atau pekir).
Teori lain sejarah kemunculan tarekat dikemukakan oleh
Jhon O. Voll. Ia mejelaskan bahwa penjelasan mistis terhadap Islam
muncul sejak awal sejarah islam, dan para sufi yang mengembangkan
jalan-jalan spiritual personal mereka dengan melibatkan
praktik-praktik ibadah, pembacaan kitab suci, dan kepustkaan tentang
keshalehan. Para sufi ini kadang-kadang terlibat konflik dengan
otoritas-otoritas dalam komunitas islam dan memberikan alternatif
terhadap orientasi yang lebih bersifat legalistik, yang disampaikan
oleh kebanyakan ulama. Namun, para sufi secara bertahap menjadi
figur-figur penting dalam kehidupan keagamaan dikalangan penduduk awam
dan mulai mengumpulkan kelompok-kelompok pengikut diidentifikasi dan
diikat bersama oleh jalan taswuf khusus (tarekat) sang guru. Mejelang
abad ke-12 M (ke-5 H), jalan-jalan ini mulai menyediakan basis bagi
kepengikutan yang lebih permanen, dan tarekat-tarekat sufi pun muncul
sebagai organisasi sosial utama dalam komunitas islam.[4]
Pada awal kemunculannya, tarekat berkembang dari dua
daerah, yaitu Khurasan (Iran) dan Mesopotamia (Irak). Pada priode ini
mulai timbul beberapa, diantaranya tarekat Yasafiah yang didirikan
oleh Ahmad al-Yasafi (w. 562 H/1169 M), tarekat Khawajagawiyah yang
disponsori oleh Abd al-Khaliq al-Ghzudawani (w. 617 H/1220 M), tarekat
Naksabandiyah, yang didirikan oleh Muhammad Bahauddin an-Naksabandi
al-Awisi al-Bukhari (w. 1389 M) di Turkistan, tarekat Khalwatiyah yang
didirikan oleh Umar al-Khalwati (w. 1397 M). Karena banyaknya
cabang-cabang tarekat yang timbul dari tiap-tiap tarekat induk, sangat
sulit untuk menelusuri sejarah perkembangan tarekat itu se cara
sistematis dan konsepsional. Akan tetapi yang jelas sesuai dengan
penjelasan Harun Nasution, cabang-cabang itu muncul sebagai akibat
tersebarnya alumni suatu tarekat yang mendapat ijazah tarekat dari
gurunya untuk membuka perguruan baru sebagai perluasan dari ilmu yang
diperolehnya. Alumni tadi meninggalkan ribat gurunya dan membuka ribat baru didaerah lain. Dengan cara ini, dari satu ribat induk kemudian timbul ribat cabang tumbuh ribat ranting dan seterusnya, samapi tarekat itu berkembang keberbagai dunia islam.[5]
Namun, ribat-ribat tersebut tetap mempunyai ikatan kerohanian,
ketaatan, dan amalan-amalan yang sama dengan syekhnya yang pertama.
Dalam seluruh tarekat terdapat kegiatan ritual sentral
yang melibatkan pertemuan-pertemuan kelompok secara teratur untuk
melakukan pembacaan do’a, syair dan ayat-ayat pilihan dari Al-Qur’an.
Aliran-aliran Tarekat Dalam Islam
- Tarekat Qadiriyah
Qadiriyah didirikan oleh Abd Al-Qadir Jailani [470/1077-561/1166] atau quthb al-awiya.
Ciri khas dari Tarekat Qadiriyah ini adalah sifatnya yang luwes,tidak
sempit sehingga tuan syekh atau Syekh Mursyid yang baru dapat
menentukan langkahnya menuju kehadirat Allah SWT guna mendapat
keridlaan-Nya. Keluwesan dan kemandirian inilah, yang menyebabkan
tarekat ini cepat berkembang di sebagian besar dunia Islam. Terutama di
Turki, Yaman, Mesir, India, Suria, Afrika dan termasuk ke Indonesia.
2. Syadziliyah
Tarekat
Syadziliyah didirikan oleh Abu Al-Hasan Asy-Syadzili
[593/1196-656/1258]. Syadziliyah menyebar luas di sebagian besar Dunia
Muslim. Ia diwakili di Afrika Utara teerutama oleh cabang-cabang
Fasiyah dan Darqawiyah serta berkembang pesat di Mesir, tempat 14
cabangnya dikenal secara resmi pada tahun 1985.[6]
- Tarekat Naqsabandiyah
Tarekat
Naqsabandiyah didirikan oleh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi
Al-Awisi Al-Bukhari [w. 1389M] di Turkistan. Tarekat ini mempunyai
dampak dan pengaruh sangat besar kepada masyarakat muslim di berbagai
wilayah yang berbeda-beda. Tarekat ini pertama kali berdiri di Asia
Tengah, kemudian meluas ke Turki, Suriah, Afganistan, dan India.
Cirri menonjol Tarekat Naksabandiyah adalah : Pertama, mengikuti
syariat secara ketat, keseriusan dalam beribadah yang menyebabkan
penolakan terhadap musik dan tari, dan lebih menyukai berdzikir dalam
hati. Kedua, upaya yang serius dalam memengaruhi kehidupan dan
pemikiran golongan penguasa serta mendekati Negara pada agama.
- Tarekat Yasafiyah dan Khawajagawiyah
Tarekat Yasafiyah didirikan oleh Ahmad Al-Yasafi [w. 562H/1169M] dan disusul tarekat Khawajagawiyah yang disponsori oleh Abd Al-Khaliq Al-Ghuzdawani [w. 617 H/1220 M]. kedua tarekat ini menganut paham tasawuf Abu Yazid Al-Bustami [w. 425 H/1034 M] dan dilanjutkan oleh Abu Al-Farmadhi [w. 477 H/1084 M].[7] Tarekat Yasafiyah berkembang ke berbagai daerah, antara lain ke Turki.
- Tarekat Khalwatiyah
Tarekat
ini didirikan oleh Umar Al-Khalatawi [w. 1397 M] dan merupakan salah
satu tarekat yang berkembang di berbagai negeri, seperti Turki,
Syiria, Mesir, Hijaz, dan Yaman. Di Mesir, tarekat Khalwatiyah didirikan oleh Ibrahim Gulsheini [w. 940 H/1534 M] yang kemudian terbagi kepada beberapa cabang, antara lain tarekat Sammaniyah yang didirikan oleh Muhammad bin Abd Al-Karim As-Samani [1718-1775].
- Tarekat Syatariyah
Tarekat
ini didirikan oleh Abdullah bin Syattar [w. 1485] dari India. Tarekat
ini tidak mementingkan shalat lima waktu, tetapi mementingkan shalat
permanen [shalat dhaim]. Adapun dasar tarekat ini adalah martabat tujuh yang sebenarnya tidak begitu erat hubungannya dengan praktik ritualnya.[8]
- Tarekat Rifa’iyah
Tarekat
ini didirikan oleh Ahmad bin Ali ar-Rifa’I [1106-1182]. Tarekat sufi
Sunni ini memainkan peranan penting dalam pelembagaan sufisme. Dari
segala praktik kaum Rifa’iyah, dzikir mereka yang khas patut dicatat.
- Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah
Tarekat ini merupakan gabungan dari dua ajaran tarekat, yaitu Qadiriyah dan Naqsabandiyah.
Tarekat ini didirikan oleh Ahmad Khatib Sambas yang bermukim dan
mengajar di Mekkah pada pertengahan abad ke-19. Tarekat ini merupakan
yang paling berpengaruh dan tersebar secara melua di Jawa saat ini.[9]
- Tarekat Sammaniyah
Tarekat
ini didirikan oleh Muhammad bin ‘Abd Al-Karim Al-Madani Asy-Syafi’I
As- Samman [1130-1189/1718-1775]. Hal menarik dari tarekat ini yang
menjadi ciri khasnya adalah corak wahdat al-wujud yang dianut dan syathahat yang terucap olehnya tidak bertentangan dengan syariat.
- Tarekat Tijaniyah
Tarekat
Tijaniyah didirikan oleh Syekh Ahmad bin Muhammad At-Tijani
[1150-1230 H/1737-1815 M]. Bentuk amalan tarekat Tijaniyah terdiri
dari dua jenis,yaitu wirid wajibah dan wirid ikhtiyariyah.
- Tarekat Chistiyah
Chistiyah
adalah salah satu tarekat sufi utama di Asia Selatan. Tarekat ini
meyebar ke seluruh kawasan yang kini merupakan wilayah India, Pakista
dan Banglades. Namun, tarekat ini hanya terkenal di India. Pendiri
tarekat ini di India adalah Khwajah Mu’in Ad-Din Hasan, yang lebih
populer dengan panggilan Mu’in Ad-Din Chisti.
- Tarekat Mawlawiyah
Nama Mawlawiyah berasal
dari kata “mawlana” [guru kami], yaitu gelar yang diberikan
murid-muridnya kepada Muhammad Jalal Ad-Din Ar-Rumi [w. 1273]. Oleh
karena itu, Rumi adalah pendiri tarekat ini, yang didirikan sekitar 15
tahun terakhir hidup Rumi. Salah satu mursyid sekaligus wakil
yang terkenal secara internasional dari tarekat ini adalah Syekh
Al-Kabir Helminski yang bermarkas di California, Amerika Serikat.[10]
- Tarekat Ni’matullahi
Tarekat
Ni’matullahi adalah suatu mazhab sufi Persia yang segera setelah
berdirinya dan mulai berjaya pada abad ke-8-14 mengalihkan loyalitasnya
kepada Syi’I Islam. Tarekat ini didirikan oleh Syekh Ni’matullahi
Wal. Tarekat ini secara khusus menekankan pengabdian dalam pondok sufi
itu sendiri.
- Tarekat Sanusiyah
Tarekat
ini didirikan oleh Sayyid Muhammad bin ‘Ali As-Sanusi. Dalam tarekat
ini, dzikir bisa dilakukan bersama-sama atau sendirian. Tujuan dzikir
itu lebih dimaksudkan untuk “melihat Nabi” ketimbang “melihat Tuhan”,
sehingga tidak dikenal “keadaan ekstatis”’ sebagaimana yang ada pada
tarekat lain.
Di samping tarekat-tarekat diatas, ada pula tarekat lokal yang didirikan di Indonesia diantaranya : [11]
- Tarekat Akmaliyah [Hakmiyah]
Didirikan oleh Kyai Nurhakim. Ia dikenal sebagai dukun dan tukang jimat.
- Tarekat Shiddiqiyah
Didirikan
oleh Kyai Mukhtar Mukti di Losari Plodo [Jombang] pada tahun 1958. Ia
dikenal sebagai dukun yang sakti sehingga banyak pengikutnya dari
kalangan penderita penyakit kronis dan bekas pecandu minuman.
- Tarekat Wahidiyah
Didirikan oleh Kyai Majid Ma’ruf dari Kedunglo[Kediri] pada tahun 1963.
Tarekat-tarekat yang ajaran-ajarannya sesuai dengan doktrin
Islam [Al-Qur’an dan AsSunnah] dikelompokkan ke dalam tarekat yang muktabarah. Sebaliknya, tarekat-tarekat yang ajaran-ajarannya bertentangan dengan doktrin Islam dikelompokkan ke dalam tarekat ghair muktabarah. Menurut Syekh Jalaluddin sebagaimana dikutip ole Aboe Bakar Atjeh, ada 41 jenis tarekat yang masuk ke dalam tarekat muktabarah, diantaranya Qadiriyah,
Naqsabandiyah, Syadziliyah, Rifa’iyah, Qubrawiyah, Suhrawardiyah,
Khalwatiyah, Alawiyah, Syatariyah, Aidrusiyah, Sammaniyah, dan Sanusiyah. Di luar yang 41 macam tersebut dipandang sebagai tarekat ghair muktabarah yang tidak diakui kebenarannya seperti tarekat Akmaliyah, Siddiqiyah, dan Wahidiyah.
Walaupun
bermacam-macam, ternyatatarekat-tarekat yang beragam itu memiliki
kesamaan tertentu. Dalam kaitan ini, Nicholson mengungkapkan hasil
penelitiannya, bahwa sistem hidup bersih dan bersahaja [zuhd]
adalah dasar semua tarekat yang berbeda-beda itu. Semua pengikut
dididik dalam disipin itu, dan pada umumnya tarekat-tarekat tersebut
walupun beragam namanya dan metodenya ada cirri yang menyamakannya.
Dari sisem dan metode tersebut, Nicholson menyimpulkan
bahwa tarekat-tarekat sufi merupakan bentuk kelembagaan yang
terorganisasi untuk membina suatu pendidikan moral dan solidaritas
social. Sasaran akhir dari pembinaan pribadi dalam pola hidup
bertasawuf adalah hidup bersih, bersahaja, tekun beribadah kepada
Allah, membimbing masyarakat ke arah yang diridai Allah, dengan jalan
pengamalan syariat dan penghayatan haqiqah dalam sistem/metode
thariqah untuk mencapai makrifat. Apa yang dimaksud dengan makrifat
dalam tema mereka adalah penghayatan puncak pengenalan keesaan Allah
dalam wujud semesta dan wujud dirinya sendiri. Pada titik pengenalan
ini akan terpadu makna tawakkal dalam tauhid, yang melahirkan sikap
pasrah total kepada Allah, dan melepaskan dirinya dari ketergantungan
mutlak kepada sesuatu selain Allah.
[1] Luis Makluf, al-Mujid fi al-Lughat wa al-A’lam, Dar al-Masyriq, Beirut, 1986, hlm. 465
[2] Proyek Pembinaan Pergiruan Tinggi Agama Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, 1981/1982, hlm. 273
[3] Ibid
[4] Jhon O. Voll, “Tarekat-Tarekat Sufi ”., hlm. 215
[5] Harun Nasution, “Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia Islam ”
Dalam Orientasi Pengembangan Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan Prasarana
Dan Saran Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN di Jakarta Ditb. baga
Depag RI, 1986, hlm. 24
[6] Moh. Ardani, “ Tarekat Syadziliyah : Terkenal dengan Variasi Hizb-nya “, dalam Sri Mulyati (et.al ), Tarekat-Tarekat…., hlm.57.
[7]
Trimingham, The Sufi Orders…, hlm. 58-64; Wiwi Siti Sajaroh, “Tarekat
Naqsabandiyah: Menjalani Hubungan Harmonis dengan Kalangan Penguasa’,
dalam John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford…, hlm.91.
[8] Sopa, “Tarekat di Indonesia:, makalah di Pascasarjana IAIN SAyarif Hidayatullah, Jakarta, 1996, hlm.10.
[9] Sopa, “Tarekat di Indonesia”, hlm.11.
[10] Mulyadi Kartanegara, “Tarekat Mawlawiyah : TYarekat Kelahiran Turki”, dalam ibid., hlm.321.
[11] Sopa, “Tarekat di Indonesia”, hlm. 12-13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar